Awig-Awig Dalam Desa Pakraman

Masalah awig-awig Desa Pekraman pada umumnya menjadi tugas di Bagian Hukum dan HAM khususnya di sub bagian Bantuan Hukum dan HAM. baik itu terkait pembinaannya, penelitian, pembahasan dan penyuratannya.
Untuk lebih jelasnya, apa itu awig-awig, berikut akan dijelaskan secara umum mengenai apa itu awig-awig. Sama halnya didalam sebuah negara yang memiliki undang-undang atau hukum dasar yang mengatur kehidupan warganya dan sebuah organisasi yang memiliki anggaran dasar rumah tangga yang digunakan sebagai pedoman dalam menjalankan organisasinya. Begitu juga dengan Desa Pakraman yang merupakan sebuah lembaga adat juga mempunyai hal serupa. Desa Pakraman di Bali memiliki sebuah aturan adat yang digunakan sebagai aturan khusus untuk mengatur kehidupan masyarakat adat dalam wilayah kehidupan Desa Pakraman diluar kehidupan Desa Dinas yang berpedoman pada hukum nasional/negara.
Awig-awig berasal dari kata "wig" yang artinya rusak sedangkan "awig" artinya tidak rusak atau baik. Jadi awig-awig dimaknai sebagai sesuatu yang menjadi baik. Secara harfiah awig-awig memiliki arti suatu ketentuan yang mengatur tata krama pergaulan hidup dalam masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan yang ajeg di masyarakat (Surpha, 2002:50).
Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 disebutkan bahwa hukum adat (awig-awig dan pararem) adalah hukum adat bali yang hidup dalam masyarakat Bali yang bersumber dari catur Dresta serta dijiwai oleh agama Hindu bali. Catur Dresta yakni ajaran-ajaran agama, kuna dresta yakni nilai-nilai budaya, loka dresta yakni pandangan hidup dan Desa Dresta yakni adat-istiadat setempat (Windia, 2010:50).
Karakteristik yang dapat ditemui dalam awig-awig diantaranya adalah :
* Bersifat sosial religius, yang tampak pada berbagai tembang-tembang, sesonggan dan pepatah-petitih. Untuk membuat sebuah awig-awig harus menentukan hari baik, waktu, tempat dan orang suci yang akan membuatnya, hal ini dimaksudkan agar awig-awig itu memiliki kharisma dan jiwa/taksu. Awig-awig yang ada di desa pakraman tidak saja mengatur masalah bhuwana alit (kehidupan sosial) tapi juga mengatur bhuwana agung (kehidupan alam semesta). Hal inilah yang mendorong masyarakat Bali sangat percaya dan yakin bahwa awig-awig ataupun pararem tidak saja menimbulkan sanksi sekala (lahi) juga sanksi niskala (batin)
* Bersifat konkret dan jelas artinya disini hukum adat mengandung prinsip yang serba konkret, nyata, jelas dan bersifat luwes. kaedah-kaedah hukum adat dibangun berdasarkan asas-asas pokok saja, sedangkan pengaturan yang bersifat detail diserahkan pada pengolahan asas-asas pokok itu dengan memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat. Jadi dari sini akan muncul peraturan adat lain seperti pararem sebagai aturan tambahan yang berisi petunjuk pelaksana, aturan tambahan dan juga bisa saja sanksi tambahan yang belum ada, sudah tidak efektif atau belum jelas pengaturannya dalam awig-awig.
* Bersifat dinamis, hukum adat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Ketika masyarakat berubah karena perkembangan jaman, hukum adat ikut berkembang agar mampu mengayomi warga masyarakat dalam melakukan hubungan hukum dengan sesamanya (Sirtha, 2008:152)
* Bersifat kebersamaan atau komunal. Dalam hukum adat Bali tidak mengenal yang namanya Hakim menang kalah, namun yang ada adalah hakim perdamaian. Karena Hukum Adat Bali lebih mementeingkan rasa persauadaraan dan kekeluargaan.
* Karakteristik lainnya dari awig-awig yakni tidak seperti hukum nasional atau hukum barat yang jarang mengakomodir dimensi sosiologis, hukum adat sebaliknya lebih mengakomodir dimensi sosiologis.
Awig-awig yang hidup dalam masyarakat tidak hanya membedakan hak dan kewajiban melainkan juga memberikan sanksi-sanksi adat baik berupa sanksi denda, fisik maupun psikologi dan yang bersifat spiritual. Jenis-jenis sanksi adat yang yang diatur dalam awig-awig maupun pararem antara lain :
a. Mengaksama (minta maaf)
b. Dedosaan (denda uang)
c. Kerampang (disita harta bendanya)
d. Kasepekang (tidak diajak bicara) dalam waktu tertentu
e. Kaselong (diusir dari desanya)
f. Upacara prayascita (upacara bersih desa) (Sirtha, 2008:32) (Yanti)